Selasa, 25 September 2012
2013, Biaya Seleksi Masuk PTN Gratis
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Djoko Santoso, menegaskan bahwa seluruh biaya masuk perguruan tinggi negeri (PTN) akan ditanggung oleh pemerintah mulai tahun 2013. Dengan demikian, semua siswa memiliki hak untuk ikut serta pada seleksi masuk PTN secara gratis.
"Apapun namanya, undangan atau tertulis, semua lulusan jenjang SMA boleh mendaftar langsung dan gratis," kata Djoko saat ditemui Kompas.com, di Balairung kampus UI, Depok, Rabu (12/9/2012).
Kemendikbud telah berencana sejak lama bahwa seleksi masuk PTN akan digelar dengan gratis untuk mengurangi beban masyarakat terkait biaya pendaftaran seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN) yang mencapai Rp 150.000 per siswa. Pemerintah siap menggelontorkan anggaran sekitar Rp 300 juta untuk memenuhi rencana tersebut.
Namun demikian, Djoko mengatakan bahwa Majelis Rektor PTN masih merumuskan mekanisme penerimaan mahasiswa di PTN, twrmasuk mengenai bobot nilai yang akan digunakan, antara nilai rapor dan hasil Ujian Nasional (UN). Seleksi masuk PTN dibagi ke beberapa jalur, undangan, tertulis, dan seleksi mandiri di masing-masing perguruan tinggi. Khusus untuk jalur undangan, proporsi siswa yang direkomendasikan oleh sekolah ditentukan oleh akreditasi sekolah tersebut.
Djoko berharap, kebijakan ini akan membuka akses masuk ke PTN makin lebar dan berkeadilan karena memperkecil kemungkinan adanya siswa yang gagal mengikuti SNMPTN karena alasan tak memiliki biaya mendaftar.
Kamis, 20 September 2012
Gejolak Kawula Muda
Lagu ini adalah lagu lama yang udah jarang keluar tapi musiknya masih enak tuh buat didengerin
Check it the lyric below!!
*kau yang selalu hadir dalam tiap langkahku
hangatkan hariku dengan panasnya cintamu
genggam erat janjiku untukmu
kau kan selalu dekatku
Kau sinari malamku dengan kasihmu
Kau tuangkan air dalam haus rinduku
Kau selalu hembuskan cintamu
Kau selalu kudamba
Kau teduhkan hatiku di setiap risauku
Kau padamkan cemburu di dalam kalbu
Kau rangkai mimpiku di lelahku
Kau selalu kupuja
jangan lah kau berpaling dariku
percaya akan cintaku kepadamu
biarkan hatiku dan jiwamu
terpaut dalam satu jalinan kasih asmara
Kau teduhkan hatiku di setiap risauku
Kau padamkan cemburu di dalam kalbu
Kau rangkai mimpiku di lelahku
Kau yang selalu kupuja
Rabu, 01 Februari 2012
ATTICUS SHIRT
Available Now !!
Atticus Shirt
only Rp. 50.000
Size: M
Colour: Black, Brown Tan,and Dark Green.
CP: 08989964272
GET IT NOW!!!
Wilbur Ramirez BinMan London dan Imam Syaffi BinMan Indonesia (Jakarta)
BinMan adalah istilah nama untuk tukang pengangkut sampah
Setiap hari Imam Syaffi bekerja keras keliling dirumah-rumah masyarakat, untuk mengambil sampah.
Pekerjaan ini begitu sulit dan keras di tengah-tengah kota metropolitan Jakarta.
Hampir tidak ada yang memisahkan daur ulang. Limbah rumah tangga, makanan, plastik dan taman stek semua berakhir di campuran dan kliring itu kembali bekerja di panas terik.
Keranjang Imam berukuran besar seperti ukuran bak mandi besar tapi tiga kali lebih tinggi.
"Imam works double hard" kata Wilbur Ramirez tukang sampah dari London, terengah-engah dalam kekaguman, dan keringat mengalir dari keningnya.
Ini adalah pertama Wilbur dari 10 hari, mengalami kehidupan seorang kolektor sampah Jakarta, dia berkata "Ini merupakan hari yang berat berdarah dan aku bahkan tidak berpikir saya melakukan sehari penuh, dua dari tiga putaran dan aku seperti sekarat"
Imam mengumpulkan sampah dari hampir 100 rumah, dibayar oleh asosiasi penduduk setempat '. Selama seminggu enam hari ia memperoleh 200.000 Indonesian Rupiah ($ 22 atau £ 14).
"Pekerjaan ini lebih banyak menuntut fisik dari yang saya duga," kata Wilbur. "Kereta ini beratnya satu ton dan biasanya dimainkan oleh satu orang. Imam dan aku berkeringat seperti babi."
Sebagian besar limbah Jakarta, sekitar 6.000 ton per hari, berakhir di ujung raksasa ini termasuk limbah dari putaran Imam.
"Disini binman berkaki telanjang" kata Wilbur ngeri."Ada kaca, ada segala sesuatu di sana kaki pria ini harus seperti kulit badak.."
Pekerjaan sebagai binman hanya dibayar Rp.3000,-
dengan bayaran yang mini, tetapi resikonya besar jika terdapat kesalahan seperti, Jika ada keluhan masyarakat yang sampahnya ketinggalan satu kantong saja, asosiasi masyarakat sudah menegaskan bahwa dia akan di pecat dan masih ada banyak orang yang membutuhkan pekerjaan, jadi Imam takut akan kehilangan pekerjaan ini. Dia rela bekerja menjadi tukang angkut sampah sampai mendaur ulang sampah yang dibawanya untuk makan anak dan istrinya.
Sedangkan tukang sampah diluar negeri semuanya disediakan alat untuk mengangkut samaph agar tidak terlalu berat dan gajinyapun setiap bulan mencapai Rp. 3.000.000,-
ungkapan istri Imam Windi
"Kami tidak punya uang banyak, tapi aku masih senang karena suami saya bekerja keras untuk merawat saya dan anak saya," kata Windi.
"Meskipun dia bekerja dengan sampah, ia pantas diperlakukan dengan hormat Dia mungkin seorang pria bin tapi. Ia masih seorang manusia."
Senin, 30 Januari 2012
Indonesia Kita
CHARACTER BUILDING
Ungkapan character building kini sudah klise kosong, nyaris tidak
bermakna. Diucapkan para politisi, birokrat pendidikan, pemimpin
organisasi pendidikan, ungkapan ini tidak meninggalkan bekas apa-apa.
Ketika ungkapan ini diucapkan oleh Bung Karno dulu, oleh Mohamad Said
dari Taman Siswa, oleh St Takdir, oleh Soedjatmoko, ungkapan ini
meninggalkan bekas yang mendalam di hati saya. Ungkapan ini
menghidupkan harapan besar dalam hati saya.
Kini, kalau saya mendengar orang mengucapkan kata-kata ini, ia
berlalu begitu saja, tidak mampir di otak atau hati saya. Apakah
character building atau pembinaan watak kini sudah bukan masalah lagi
di Indonesia?
Ketika Bung Karno mengucapkan kata-kata ini, rasanya diucapkan dalam
konteks politik. Jadi yang dimaksud ialah watak bangsa harus
dibangun. Tetapi ketika kata-kata ini diungkapkan oleh para pendidik,
dari Ki Hajar Dewantara hingga Mohammad Said, konteksnya adalah
pedagogik. Yang dimaksudkan ialah pendidikan watak untuk para siswa,
satu demi satu. Bagaimana cara mendidik anak di sekolah agar selain
menjadi pintar juga menjadi manusia berwatak?
Pendidikan watak
Jika diuraikan seperti ini, masalah character building masih
merupakan suatu isu besar, bahkan amat besar. Semua kebobrokan yang
kita rasakan kini lahir dari tidak adanya watak yang cukup kokoh pada
diri kita bersama. Watak bangsa rapuh dan watak manusia Indonesia
mudah goyah. Saya kira jumlah orang yang jujur masih cukup banyak di
Indonesia, tetapi mereka tidak berdaya menghadapi kelompok kecil
manusia Indonesia yang korup, yang mempunyai kekuasaan atau
membonceng pada kekuasaan.
Jadi apa yang salah dengan pendidikan watak kita? Banyak
sekali! “Pendidikan watak” diformulasikan menjadi pelajaran agama,
pelajaran kewarganegaraan, atau pelajaran budi pekerti, yang program
utamanya ialah pengenalan nilai-nilai secara kognitif semata. Paling-
paling mendalam sedikit sampai ke penghayatan nilai secara afektif.
Padahal, pendidikan watak seharusnya membawa anak ke pengenalan nilai
secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, akhirnya ke
pengamalan nilai secara nyata. Dari gnosis sampai ke praksis, istilah
pedagogiknya.
Untuk sampai ke praksis, ada satu peristiwa batin yang amat penting
yang harus terjadi dalam diri anak, yaitu munculnya keinginan yang
sangat kuat (tekad) untuk mengamalkan nilai. Peristiwa ini disebut
conatio. Dan langkah untuk membimbing anak membulatkan tekad ini
disebut langkah konatif.
Jadi dalam pendidikan watak, urut-urutan langkah yang harus terjadi
ialah langkah pengenalan nilai secara kognitif, langkah memahami dan
menghayati nilai secara afektif, dan langkah pembentukan tekad secara
konatif. Ini trilogi klasik pendidikan. Oleh Ki Hajar diterjemahkan
dengan kata-kata cipta, rasa, karsa.
Berdasar analisis ini pendidikan watak pada dasarnya adalah
membimbing anak untuk secara sukarela mengikatkan diri pada nilai.
Rumusan Profesor Phenix ialah “voluntary personal commitment to
values”. Dilihat dari sudut ini tidak akan terlalu sukar untuk
mengetahui kesalahan-kesalahan kita dalam menyelenggarakan pendidikan
watak.
Pelaksanaan
Kini, lihatlah cara kita melaksanakan pendidikan watak, terutama dari
segi evaluasi. Mengetahui kemajuan anak dalam aspek kognitif relatif
itu mudah. Nilai-nilai apa saja yang dikenal dan dipahami anak
mengenai berbagai hal dalam kehidupan? Nilai-nilai tentang pergaulan
sosial, tentang etos kerja, tentang kejujuran? Apa saja yang telah
diketahui dan dipahami anak tentang berbagai jenis nilai tadi?
Bagaimana mengevaluasi keberhasilan anak dalam mengenali dan memahami
nilai-nilai ini?
Jelas tidak dengan tes multiple choice (pilihan ganda) semata.
Bagaimana menilai kemajuan aspek afektif anak? Observasi dan catatan
hasil observasi adalah cara terbaik. Dan menilai kemajuan anak dalam
aspek praksis juga harus dilakukan dengan observasi yang sistematis.
Dilihat dari segi ini, kita tidak dapat menghindari kesan, pendidikan
watak di sekolah kita benar-benar amburadul. Saya mendapat kesan,
kita tidak sungguh-sungguh berusaha melaksanakan pendidikan watak.
Rupanya tidak ada tempat dalam kurikulum sekolah Indonesia untuk
melaksanakan pendidikan watak yang sebenarnya. Para guru bertanya,
untuk apa menghabiskan waktu dan tenaga untuk pendidikan watak? “Soal
watak kan tidak akan ditanyakan dalam ujian nasional!”
Kesan ini diperkuat cara penyelenggaraan ujian nasional. Hanya tiga
mata pelajaran yang diujikan, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris,
dan Matematika. Ketiga hal ini memang penting, tetapi siapa berani
mengatakan pendidikan watak tidak penting? Kiranya tidak ada! Namun,
ketentuan atas ketiga pelajaran menentukan lulus-tidaknya seorang
siswa dari ujian nasional berarti pemerintah memandang pendidikan
watak sama sekali tidak penting. Ujian nasional telah mengubur
pendidikan watak.
Mungkin ada yang mengatakan, mengevaluasi hasil pendidikan watak
dengan baik tidak mungkin dilakukan secara nasional, tetapi harus
secara lokal. Saya setuju! Tetapi kenyataannya, penilaian lokal tidak
diperhitungkan sama sekali. Kesimpulan saya, Departemen Pendidikan
Nasional (Depdiknas) menganggap pendidikan watak tidak penting. Itu
hanya suatu komoditas politik yang tidak perlu dianggap terlalu
serius. Selain itu, Depdiknas menganggap para guru yang tiap hari
mendampingi anak tidak memiliki informasi yang sah tentang
perkembangan murid, termasuk perkembangan wataknya.
Kini kita harus menentukan secara definitif, pendidikan watak di
sekolah itu penting atau tidak bagi masa depan bangsa dan negara?
Kalau penting, mari ditangani bersama dengan baik. Kalau kita
menganggapnya tidak penting lagi, karena sudah ada pelajaran agama,
kewarganegaraan, dan budi pekerti, ya sudah! Jangan ngomong lagi
tentang pendidikan watak. Jangan ngomong tentang nation and character
building.
Ungkapan character building kini sudah klise kosong, nyaris tidak
bermakna. Diucapkan para politisi, birokrat pendidikan, pemimpin
organisasi pendidikan, ungkapan ini tidak meninggalkan bekas apa-apa.
Ketika ungkapan ini diucapkan oleh Bung Karno dulu, oleh Mohamad Said
dari Taman Siswa, oleh St Takdir, oleh Soedjatmoko, ungkapan ini
meninggalkan bekas yang mendalam di hati saya. Ungkapan ini
menghidupkan harapan besar dalam hati saya.
Kini, kalau saya mendengar orang mengucapkan kata-kata ini, ia
berlalu begitu saja, tidak mampir di otak atau hati saya. Apakah
character building atau pembinaan watak kini sudah bukan masalah lagi
di Indonesia?
Ketika Bung Karno mengucapkan kata-kata ini, rasanya diucapkan dalam
konteks politik. Jadi yang dimaksud ialah watak bangsa harus
dibangun. Tetapi ketika kata-kata ini diungkapkan oleh para pendidik,
dari Ki Hajar Dewantara hingga Mohammad Said, konteksnya adalah
pedagogik. Yang dimaksudkan ialah pendidikan watak untuk para siswa,
satu demi satu. Bagaimana cara mendidik anak di sekolah agar selain
menjadi pintar juga menjadi manusia berwatak?
Pendidikan watak
Jika diuraikan seperti ini, masalah character building masih
merupakan suatu isu besar, bahkan amat besar. Semua kebobrokan yang
kita rasakan kini lahir dari tidak adanya watak yang cukup kokoh pada
diri kita bersama. Watak bangsa rapuh dan watak manusia Indonesia
mudah goyah. Saya kira jumlah orang yang jujur masih cukup banyak di
Indonesia, tetapi mereka tidak berdaya menghadapi kelompok kecil
manusia Indonesia yang korup, yang mempunyai kekuasaan atau
membonceng pada kekuasaan.
Jadi apa yang salah dengan pendidikan watak kita? Banyak
sekali! “Pendidikan watak” diformulasikan menjadi pelajaran agama,
pelajaran kewarganegaraan, atau pelajaran budi pekerti, yang program
utamanya ialah pengenalan nilai-nilai secara kognitif semata. Paling-
paling mendalam sedikit sampai ke penghayatan nilai secara afektif.
Padahal, pendidikan watak seharusnya membawa anak ke pengenalan nilai
secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, akhirnya ke
pengamalan nilai secara nyata. Dari gnosis sampai ke praksis, istilah
pedagogiknya.
Untuk sampai ke praksis, ada satu peristiwa batin yang amat penting
yang harus terjadi dalam diri anak, yaitu munculnya keinginan yang
sangat kuat (tekad) untuk mengamalkan nilai. Peristiwa ini disebut
conatio. Dan langkah untuk membimbing anak membulatkan tekad ini
disebut langkah konatif.
Jadi dalam pendidikan watak, urut-urutan langkah yang harus terjadi
ialah langkah pengenalan nilai secara kognitif, langkah memahami dan
menghayati nilai secara afektif, dan langkah pembentukan tekad secara
konatif. Ini trilogi klasik pendidikan. Oleh Ki Hajar diterjemahkan
dengan kata-kata cipta, rasa, karsa.
Berdasar analisis ini pendidikan watak pada dasarnya adalah
membimbing anak untuk secara sukarela mengikatkan diri pada nilai.
Rumusan Profesor Phenix ialah “voluntary personal commitment to
values”. Dilihat dari sudut ini tidak akan terlalu sukar untuk
mengetahui kesalahan-kesalahan kita dalam menyelenggarakan pendidikan
watak.
Pelaksanaan
Kini, lihatlah cara kita melaksanakan pendidikan watak, terutama dari
segi evaluasi. Mengetahui kemajuan anak dalam aspek kognitif relatif
itu mudah. Nilai-nilai apa saja yang dikenal dan dipahami anak
mengenai berbagai hal dalam kehidupan? Nilai-nilai tentang pergaulan
sosial, tentang etos kerja, tentang kejujuran? Apa saja yang telah
diketahui dan dipahami anak tentang berbagai jenis nilai tadi?
Bagaimana mengevaluasi keberhasilan anak dalam mengenali dan memahami
nilai-nilai ini?
Jelas tidak dengan tes multiple choice (pilihan ganda) semata.
Bagaimana menilai kemajuan aspek afektif anak? Observasi dan catatan
hasil observasi adalah cara terbaik. Dan menilai kemajuan anak dalam
aspek praksis juga harus dilakukan dengan observasi yang sistematis.
Dilihat dari segi ini, kita tidak dapat menghindari kesan, pendidikan
watak di sekolah kita benar-benar amburadul. Saya mendapat kesan,
kita tidak sungguh-sungguh berusaha melaksanakan pendidikan watak.
Rupanya tidak ada tempat dalam kurikulum sekolah Indonesia untuk
melaksanakan pendidikan watak yang sebenarnya. Para guru bertanya,
untuk apa menghabiskan waktu dan tenaga untuk pendidikan watak? “Soal
watak kan tidak akan ditanyakan dalam ujian nasional!”
Kesan ini diperkuat cara penyelenggaraan ujian nasional. Hanya tiga
mata pelajaran yang diujikan, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris,
dan Matematika. Ketiga hal ini memang penting, tetapi siapa berani
mengatakan pendidikan watak tidak penting? Kiranya tidak ada! Namun,
ketentuan atas ketiga pelajaran menentukan lulus-tidaknya seorang
siswa dari ujian nasional berarti pemerintah memandang pendidikan
watak sama sekali tidak penting. Ujian nasional telah mengubur
pendidikan watak.
Mungkin ada yang mengatakan, mengevaluasi hasil pendidikan watak
dengan baik tidak mungkin dilakukan secara nasional, tetapi harus
secara lokal. Saya setuju! Tetapi kenyataannya, penilaian lokal tidak
diperhitungkan sama sekali. Kesimpulan saya, Departemen Pendidikan
Nasional (Depdiknas) menganggap pendidikan watak tidak penting. Itu
hanya suatu komoditas politik yang tidak perlu dianggap terlalu
serius. Selain itu, Depdiknas menganggap para guru yang tiap hari
mendampingi anak tidak memiliki informasi yang sah tentang
perkembangan murid, termasuk perkembangan wataknya.
Kini kita harus menentukan secara definitif, pendidikan watak di
sekolah itu penting atau tidak bagi masa depan bangsa dan negara?
Kalau penting, mari ditangani bersama dengan baik. Kalau kita
menganggapnya tidak penting lagi, karena sudah ada pelajaran agama,
kewarganegaraan, dan budi pekerti, ya sudah! Jangan ngomong lagi
tentang pendidikan watak. Jangan ngomong tentang nation and character
building.
Langganan:
Postingan (Atom)